Wednesday, August 13, 2008

Pengelolaan Sumber Daya Iklim Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional

Ketahanan pangan nasional melibatkan berbagai aspek, termasuk produksi bahan pangan, distribusi, kemampuan sumber daya pertanian, serta kemampuan akses masyarakat untuk memperoleh bahan pangan tersebut, baik secara ekonomi maupun sosial. Namun demikian, dalam bahasannya ketahanan pangan lebih dititikberatkan pada kemampuan dan dinamika produksi berbagai komoditas pangan, terutama padi dan palawija.

Kemampuan dan dinamika produksi pertanian tersebut dewasa ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain perubahan dan anomali iklim. Kedua gejala alam ini sering bersifat global dan sangat besar pengaruhnya terhadap pola unsur-unsur iklim, seperti jumlah dan pola curah hujan, presipitasi lainnya, serta suhu udara dan lain-lain. Anomali iklim yang paling menonjol dan sering terjadi serta berdampak serius terhadap berbagai kehidupan sosial dan ekonomi, terutama dalam kaitannya dengan produksi dan ketersediaan pangan di Indonesia adalah El-Nino dan La-Nina. Sedangkan perubahan iklim yang juga agak dominan pengaruhnya terhadap ketahanan pangan adalah pergeseran musim hujan atau kemarau yang sangat mempengaruhi pola dan waktu tanam tanaman semusim yang umumnya adalah tanaman pangan.

Dampak kekeringan yang sangat dirasakan masyarakat adalah penurunan ketersediaan air menurut ruang (spatial) dan waktu (temporal) yaitu: (1) aspek pasokan (supply), (2) aspek penyimpanan (storage) dan (3) aspek pemakaian (utilization). Dalam hal pasokan, secara kuantitas curah hujan tahunan yang ada relatif tetap, yang berubah adalah durasi musim hujannya cenderung lebih singkat, dengan musim kemarau yang lebih lama. Dengan musim hujan yang singkat, maka kemampuan tanah menyerap air untuk pengisian cadangan air tanah (ground water) sangat terbatas, karena sebagian besar air hujan dialirkan sebagai aliran permukaan. Sementara itu, dengan musim kemarau yang lebih lama, maka volume aliran permukaan dan laju evapotranspirasi meningkat tajam. Penurunan cadangan air tanah dalam waktu yang relatif lama, diperburuk dengan volume pengambilan air tanah untuk industri dan air minum yang tidak terkontrol, dan juga oleh kapasitas menyimpan air di sebagian besar DAS (daerah aliran sungai) di Indonesia yang terus menerus. Sedangkan aspek pemakaian, antara lain menyangkut masalah efisiensi pemakaian air irigasi yang secara nasional di bawah 50%, menjadi tantangan yang harus dicari penyelesaiannya.

Adanya risiko kerugian sebagai dampak perubahan dan anomali iklim, perlu diantisipasi antara lain dengan meningkatkan apresiasi masyarakat tentang perubahan dan anomali iklim, serta berupaya memanfaatkan iklim sebagai peluang diversifikasi, peningkatan kualitas produk dan minimalisasi resiko. Upaya antisipasi tersebut sudah bantak dilakukan berbagai pihak. Namun harus diakui bahwa upaya yang sudah memakan tenaga, waktu dan biaya sangat besar itu belum dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan. Indikatornya antara lain terlihat dari : kerugian yang terus meningkat, meluasnya jumlah lokasi dan wilayah endemik kekeringan serta lamanya kekeringan.

HUBUNGAN ANTARA ANOMALI IKLIM DENGAN KETAHANAN PANGAN
Dinamika iklim yang sangat besar pengaruhnya terhadap produksi dan kestabilan hasil pangan adalah penyimpangan (anomali) dan perubahan iklim. Anomali ikiim dapat bersifat temporer seperi bulanan atau musiman, sedangkan perubahan iklim bisa bersifat temporer, tetapi juga bisa bersifat "trendy", seperti peningkatan suhu udara akibat pemanasan global atau perubahan curah hujan akibat pergeseran sistem sirkulasi udara dan lain-lain.

Dampak anomali iklim yang didominasi oleh kekeringan dan kebanjiran terhadap ketahanan pangan terkait dengan dampaknya terhadap (a) penyediaan (produksi dan distribusi pangan), (b) kemampuan dan akses masyarakat terhadap pangan, dan (c) kerusakan sumberdaya alam basis produksi pangan. Selanjutnya, dampak anomali iklim dan perubahan iklim terhadap produksi terjadi melalui pengaruhnya secara runtut, yang diawali terhadap sirkulasi udara global dan lokal, curah hujan dan unsur iklim lainnya, pola ketersediaan air, awal dan lamanya musim tanam, pola tanam, luas areal tanarn serta areal panen dap produktivitas, berujung pada ketersediaan pangan secara nasional.

Dampak Anomali Iklim Terhadap Pola Tanam
Anomali dan perubahan ikiim antara lain menyebabkan kekeringan dan banjir yang sering berdampak terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Hal ini terjadi melalui pengaruhnya terhadap pola dan waktu tanam serta indeks/ intensitas pertanaman (IP). Ketiga komponen agronomis tersebut sangat terkait dengan perubahan jumlah dan pola curah hujan (ketersediaan air), pergeseran musim (maju mundur dan lamanya musim hujan/kemarau).

Secara teknis, tanaman padi sawah membutuhkan air 800-1200 mm/musim sedangkan jagung, kedelai dan kacang tanah 350-400, 300-350, dan 400-500 mm/musim. Dengan demikian, tanaman padi dan palawija tumbuh dan berproduksi baik Jika memperoleh pasokan air antara 6-10 mm/hari dan 3,5-6 mm/hari atau 60-100 dan 35-60 m3/ha/hari. Oleh sebab itu, pola tanam (jenis tanaman dan waktu tanam) sangat ditentukan oleh lama dan pola ketersediaan air yang terakit dengan durasi anomali iklim. Berdasarkan kejadian anomali iklim sejak lebih 100 tahun yang lalu menunjukkan bahwa rata-rata durasi kejadian El-Nino sekitar 8,5 bulan dengan kisaran 4-12 bulan, sedangkan Lanina bulan dengan kisaran 5-15 bulan (Irawan, 2003).

Sebagai contoh, penurunan curah hujan akibat El-Nino 1997 di Lampung sekitar 15-40% dengan perpanjangan musim kemarau 4-8 dasarian telah menurunkan luas areal panen padi sekitar 44% dibanding kondisi normal. Jika dibandingkan dengan luas areal tanam, luas areal panen pada El-Nino 1991, 1994 dan 1997 berturut-turut 64, 62 dan 45%, sedangkan keadaan normal sekitar 89%. Demikian juga di Jawa, pergeseran musim pada El-Nino menyebabkan perubahan realisasi luas areal tanam secara nyata seperti terlihat pada Tabel 1 (Naylor, et al. 2002). Pengunduran waktu tanam tersebut juga berakibat terhadap MT tahun berikutnya. El-Nino 1997 telah menggeser waktu tanam MH 1997/1998 hingga 2-3 bulan (6-9 dasarian) yang secara runut juga berpengaruh terhadap pola tanam MT berikutnya (Las, dkk. 1999). Walaupun tidak disebabkan oleh El-Nino penyimpangan iklim yang menyebabkan hari-hari kering pada awal musim hujan 2002/2003 (Nopember-Desember 2002) telah menggeser pola tanam di beberapa daerah sentra produksi padi di Jawa. Dalam kondisi normal, realisasi tanam MH pada bulan Desember di Jalur pantura Jabar mencapai 80%, namun hingga minggu ke II Januari 2003 realisasi tanam MH 200212003 baru mencapai 45-55%. Anomali iklim menyebabkan penanaman padi awal musim hujan (Nopember - Desember) hanya bisa dilakukan pada daerah yang dekat dengan saluran air irigasi (head & golongan 1). Hal yang mirip juga berlanjut pada MT 2003 (MK-I 2003), hal serupa juga terjadi akibat anomali dan perubahan iklim, khususnya sangat rendahnya curah hujan. Luas kerusakan pertanaman padi mencapai > 450.000 ha akibat kekeringan, dan lebih dari 91.000 ha mengalami puso. Kerusakan tersebut sebagian besar berada wilayah bagian selatan Indonesia, terutama Jawa, Sulsel dan Lampung. Sedangkan tanaman palawija yang mengalami kerusakan mencapai 42.000 ha lebih dan mengalami puso lebih dari 2.700 ha. Kerusakan tanaman padi dan palawija pada tahun 2003 tersebut jauh lebih tinggi dibanding 10 tahun sebelumnya pada periode yang lama

Dampak dinamika iklim terhadap produksi dan ketersediaan pangan
Dampak anomali iklim merupakan resultante antara perubahan luas tanam dan panen dengan produktivitas. Kekeringan dan banjir berdampak terhadap produksi melalui luas area) panen, serangan OPT, pertumbuhan dan produktivitas tanaman. El-Nino dan kekeringan berdampak lebih dominan terhadap penurunan luas areal panen seluruh komoditas dibanding terhadap penurunan produktivitas. Rata-rata penurunan luas areal panen seluruh komoditas pangan 0.25 - 11.25%, sedangkan produktivitas mengalami penurunan 0.08 - 2.27% (Irawan, 2003). Sedangkan La-Nina dan kebanjiran menyebabkan penurunan produktivitas hampir seluruh komoditias, tetapi tidak terhadap luas areal panen .

EI-Nino dan La-Nina 1991, 1994, dan 1997 yang menyebabkan ratusan ribu hektar sawah mengalami kekeringan, kebanjiran, dan gagal panen. Bahkan EI-Nino 1997 telah menyebabkan kekeringan >500 ribu ha dan gagal panen 88 ribu ha dan berujung pada krisis pangan serius yang dampaknya terasa hingga tahun 1998/1999. Data historis menunjukkan bahwa selain menyebabkan penurunan produksi pangan 4-10%, EI-Nino juga menstimulasi outbreak beberapa hama dan penyakit padi utama, seperti penggerek batang, wereng coklat, dan tungro, apalagi jika diikuti oleh La-Nina.

Pada tahun 1997, total penurunan areal panen tanaman pangan utama sekitar 6,4% yang terdiri dari padi 4-6,3%, jagung 8,7%, ubi kayu 8,7%, kacang tanah 10,1%, ubi jalar 9,2% dan kedelai 15,3%. Sedangkan pada tahun 1998 penurunan areal panen masih sekitar 4,3% masing-masing adalah 3,0-8,7% (padi), 1,5% (jagung), 8.9% (ubi kayu), 8,8% (kacang tanah), 7.3% (ubi jalar), dan 12,0% (kedelai) (Irawan, 2002). Namun secara regional, pengaruh anomali iklim terhadap produksi masing-masing komoditas sangat beragam. Di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, justru terjadi peningkatan produksi jagung pada tahun EI-Nino, terutama tahun 1994 dan 1997 (Amien, dkk. 2001). Pada El-Nino 1997, kagagalan tanam dan panen di Lampung pada MH lebih tinggi dibanding MK, yaitu 25% dan 15%,Sedangkan pada tahun 1991 10% dan pada tahun normal 8%.

Pada kondisi EI-Nino, produktivitas padi meningkat 0,25% dari 5,20 t/ha menjadi 5,22 t/ha, dan jagung naik 1,16% dari 2,76 t/ha menjadi 2,80 t/ha (Amien, 2001). produktivitas tanaman padi MK-II dalam pola tanam IP Padi 300 pada tahun La-Nina 1978 lebih tinggi dibanding produktivitas rata-ratanya. Produktivitas padi pada implementasi IP Padi 300 tahun 1998 di 4 propinsi di Jawa, Bali dan NTB mencapai 6.60 ton GKP/ha (5.28 ton GKG/ha) atau 118.4% dibanding produktivitas rata-rata di keenam propinsi yaitu 5.57 ton GKP/ha (Las, dkk. 1999).

Secara nasional penurunan produksi padi nasional pada El-Nino 1991 dan 1994 masing-masing sekitar 1,3% dan 3,2%, sedangkan El-Nino 1997 penurunan sekitar 3,6% pada tahun 1997, namun masih berdampak terhadap produksi 1998 yang turun sekitar 6,3 dibanding produksi tahun 1997, tetapi sekitar 9.4% dibanding produksi tahun 1996 (sebelum El-Nino) (BPS 2000, data diolah). Data Seri sejak tahun 1969 menunjukkan bahwa penurunan produksi pangan nasional (padi dan palawija) akibat El-Nino rata-rata 3,06% dengan kisaran 1.86 (1977) - 5.56% (1972). Sedangkan dampak La-Nina terhadap produksi pangan bersifat positif atau terjadi peningkatan sekitar 0.64% atau setara dengan 186,8 ribu ton.

Dampak El-Nino terhadap penurunan produksi pangan cenderung meningkat, yaitu 1,86-2.90% pada periode 1977-1987 menigkat menjadi 2,28-3,45% pada periode 1991-1997 . Pada El-Nino 1997, penurunan produksi mencapai 1,8 juta ton (2,28%) dan berlanjut terhadap produksi tahun 1998 yang turun 2,3 juta ton dibanding produksi tahun 1996. Selain itu dampak anomali iklim terhadap produksi pangan juga beragam menurun wilayah atau propinsi. Dampak EI-Nino tertinggi terjadi di Propinsi Lampung (7,5%, Kalimantan Timur (7,3%), Sumatera Selatan (5,4%), dan Jawa Tengah (4,9%), sedangkan dampak terkecil terjadi di Sulawesi Utara, Sumatera Utara, dan Maluku, masing-masing 0,1 dan 0,1%. Dampak La-Lina terhadap produksi pangan masing-masing wilayah jauh lebih beragam, karena di sebagian propinsi bersifat negatif dan sebagian yang lain bersifat positif. Sebagai contoh di Sutaner Bagian Utara umumnya berdampak negatif, tetapi Sumatra Bagian Selatan dan Jawa pada umumnya bersifat positif (Irawan 2003).

Dampak Anomali Iklim Terhadap Serangan Organisme Pengganggu Tanaman
Hama penyakit utama tanaman padi adalah tikus dengan luas serangan (124.000 ha/th), penggerek batang (80.127 ha/th) wereng coklat (28.222 ha/th), penyakit tungro (12.078 ha/th) dan blas (9.778 ha/th) dengan kehilangan hasil mencapai 212.948 ton GKP/musim tanam dan pada saat anomali ikiim serangan hama tersebut cenderung makin ¬luas (Soetarto et al., 2001). Peningkatan serangan OPT akibat anomali iklim, terutama El-¬Nino terkait dengan faktor utama, yaitu
(a) ketidak-serempakan tanam sehamparan akibat EI-Nino mempengaruhi perkembangan hama-penyakit melalui perubahan dan keberlanjutan waktu ketersedian inang.
(b) faktor-faktor biofisik yang kondisif, terutama suhu, kelembaban udara (pasca El-Nino), dll.

Penyimpangan iklim yang menyebabkan hari-hari kering di awal musim MH 2002/2003 telah meningkatkan serangan beberapa jenis hama utama di beberapa lokasi pertanaman di Jalur Pantura. Menurut Harian Pikiran Rakyat tanggal 14 Januari 2003, dan hasil menitoring Tim Balitpa tanggal 15 Janauari 2003, di Kabupaten Subang telah terjadi peningkatan serangan hama tikus dan belalang. Diperkiarkan luas serangan hama tikus mencapai 1.695 ha, dan serangan belalang sekitar 500 ha. Serangan tersebut makin meningkat dan meluas di daerah lain di Jalur Pantura yang luasnya mencapai lebih dari 2000 ha.

Luas serangan penyakit tungro mencapai 15.000 ha, meningkat 15 kali lipat dari biasanya terjadi pada tanaman musim hujan setelah terjadinya EI-Nino yang diikuti oleh La-Nina pada MH 1998/1999 di Lombok (Widiarta et al., 2001). Penyebab dari serangan tungro yang meluas terutama disebabkan oleh ketidak serempakan tanam. Pada kondisi tanam tidak serempak, fase vegetatif tanaman yang peka tungro dan sumber inokulum tersedia, memberi kesempatan pada wereng hijau untuk memperoleh virus dan menularkannya dalam waktu yang panjang. Disamping itu aktifitas pemencaran wereng hijau yang lebih tinggi pada tanam serempak, memperluas penularan tungro

La-Nina yang membawa dampak curah hujan diatas normal, mempengaruhi kondisi iklim mikro terutama kelembaban nisbi menjadi lebih menguntungkan bagi perkembangan wereng coklat. Kelembaban nisbi mikro kurang dari 73% menyebabkan kematian pada nimfa wereng coklat (Isichaikul et al., 1994). Anomali iklim yang terjadi pada tahun 1997 ¬yaitu El-Nino yang diikuti La-Nina menguntungkan perkembangan wereng coklat. Wereng coklat biasanya menjadi masalah pada musim hujan, tetapi pada waktu tersebut juga menyebabkan kerusakan (puso) pada tanaman padi musim kemarau di Karawang dan pada tanaman padi gogo di Subang

Dampak Anomali Iklim Terhadap Akses Masyarakat Terhadap Pangan
Dampak kekeringan dan banjir terhadap ketahanan pangan di tingkat rumah tangga petani (produsen dan juga konsumen) dan konsumen bervariasi menurut jenis dan bobot gangguannnya di tingkat lokal. Penurutan atau hambatan produksi dan distribusi secara langsung atau tidak akan berakibat terhadap penghasilan masyarakat petani, khususnya petani tanaman pangan. Akibat yang lebih parah dialami oleh buruh tani yang mengandalkan pendapatannya dari jasa kegiatan on farm seperti pengolahan tanah, menanam, menyiang, memupuk, panen dan lain-lain. Pada hal petani merupakan konsemen terbesar (>60%) bagi sebagian besar produk pangan, terutama beras.

Penundaan waktu tanam akibat kekeringan atau kekurangan air menyebabkan pula penundaan waktu panen, sementara itu kebutuhan (demand) terhadap pangan hampir tidak mengalami perubahan. Hal tersebut menyebabkan cadangan pangan di tingkat rumah tangga dan makro secara nasional dalam berbagai bentuk dan jenis pangan akan berkurang bahkan bisa devisit. Dengan demikian akses masyarakat untuk mendapatkan pangan semakin rendah karena makin menipisnya ketersediaan pangan dan menurunnya kemampuan/daya beli masyarakat terhadap pangan.

Dampak Anomali Iklim Terhadap Sumberdaya Pertanian
Kekeringan dan banjir berdampak terhadap sumberdaya lahan, air dan perairan, melalui penurunan dan peningkatan pasokan air secara ekstrim, dan atau disebabkan oleh kebakaran hutan yang berdampak terhadap fungsi keseimbangan tata air/hidrologi, penurunan kesuburan tanah dan mengurangi keanekaragaman hayati. Pada lingkungan DAS (Daerah Aliran Sungai), dampak anomali iklim bisa kompleks terutama jika terjadi erosi dan longsor. Gangguan tersebut akan menyebabkan makin berkurangnya luas lahan produktif dan terjadinya degradasi lahan, sehingga produktivitas dan kapasitas produksi pangan makin menurun.

KEBUTUHAN PANGAN DAN UPAYA PEMENUHANNYA
Trend kebutuhan pangan
Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan kebutuhan pangan per kapita nasional masih sangat tinggi (120-128 kg/per kapita/tahun) dengan kondisi defisit air sekitar 5 milyard meter kubik (DEP KIMPRASWIL., 2003) di Jawa sebagai sentra produksi pangan utama nasional. Kondisi tersebut masih disertai dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi (1,6% per tahun) dengan diikuti peningkatan konsumsi beras per kapita di sebagian besar wilayah Indonesia. Peningkatan konsumsi beras per kapita dan pemenuhan kebutuhan pangan utamanya beras yang masih bertumpu pada sentra produksi pangan utama di Jawa, Lampung, Sulawesi Selatan, Bali dan NTB yang sebagian besar merupakan wilayah monsunal rentan anomali iklim menyebabkan sistem produksi pangan nasional harus diekstensifikasi ke wilayah-wilayah ekuatorial yang curah hujan dan radiasi mataharinya tinggi dengan dampak anomali iklim tidak nyata.

Peningkatan konsumsi beras yang secara faktual masih belum bisa diturunkan ini akan menyulitkan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. Diperlukan paling tidak dua strategi dasar agar ketahanan pangan dapat dicapai: (1) menekan tingkat konsumsi dan mendorong diversifikasi (2) menghasilkan varietas baru yang mampu memanfaatkan potensi sumberdaya iklim utamanya curahan radiasi matahari yang melimpah. Beberapa program Badan Litbang yang sudah dilakukan untuk mengimplementasikan strategi tersebut antara lain: (1) mengembangkan produk olahan sumber pangan non beras (2) menghasilkan padi tipe baru, hibrida dan masih banyak lagi.

Proyeksi Ketersediaan Sumber Daya Air
Kondisi pasokan air Jawa yang saat ini mengalami defisit sampai 5 milyard meter kubik dengan tingkat kompetisi penggunaan air antara sektor yang terus meningkat menyebabkan posisi Jawa sebagai penghasil utama pangan nasional harus didukung sentra pangan baru. Sehubungan dengan masalah defisit air, gangguan anomali iklim yang cenderung meningkat intensitas dan frekuensinya, maka wilayah pengembangan sentra komoditas pangan sebaiknya diarahkan ke wilayah yang surplus air dan limpahan radiasi suryanya tinggi.

Untuk itu wilayah ekuatorial merupakan pilihan yang menjanjikan. Untuk mengilustrasikan kondisi neraca air hidrologis nasional, maka berikut ini disajikan: (1) status ketersediaan air antar pulau di Indonesia pada musim kemarau (Tabel 5) dan Proyeksi keadaan neraca air (kebutuhan dan ketersediaannya per pulau ) pada musim kemarau tahun 2020 (Tabel 6) sebagai pedoman dalam pengembangan sentra produksi pangan baru.

Pengembangan sentra produksi pangan baru ke wilayah ekuatorial yang surplus air seperti : Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi (Tabel 6) mempunyai beberapa keunggulan komparatif dan kompetitif antara lain: (1) ketersediaan airnya masih surplus (2) lahannya masih relatif luas dan mengelompok (3) memungkinkan untuk dikembangkan mekanisasi pertanian karena penduduknya masih relatif jarang.

Secara operasional kegiatan pemenuhan kebutuhan pangan dapat difokuskan pada intesifikasi lahan sawah yang sudah ada dan pengembangan lahan kering dengan didukung irigasi suplementer (supplementerry irrigation) seperti yang dilakukan oleh banyak negara maju dalam produksi pangan. Pencetakan sawah baru di luar Jawa, secara teknis masih memungkinkan, namun memerlukan dana pembangunan sistem irigasi sawah cukup besar. Demikian juga perluasan sawah rawa pasang surut masih dapat dilaksanakan dengan memilih lahan-lahan yang sesuai dan penyediaan dana yang memadai

STRATEGI PENDAYAGUNAAN SUMBER DAYA IKLIM
Karakteristik Dampak Anomali Iklim Terhadap Pergeseran Musim
Berdasarkan hasil analisis iklim di sentra produksi pangan nasional, maka dalam sepuluh tahun terakhir telah terjadi pergeseran musim. Perubahan besaran (magnitude) yang paling signifikan adalah : (1) awal musim kemarau yang lebih cepat 1-6 dasarian (2) mundurnya awal musim hujan 1-3 dasarian (3) penurunan curah hujan di musirn kemarau (4) peningkatan curah hujan di musim hujan.

Kondisi ini menyebabkan penurunan volume pengisian air tanah, peningkatan volume aliran permukaan, erosi, sedimentasi serta dalam jangka panjang akan menyebabkan penurunan kualitas kesuburan tanah dan kemampuan pasokan air. Marginalisasi kualitas lahan dan pasokan air ini akan berdampak terhadap kemampuan produksi pangan nasional, yang secara akumulatif akarn berpengaruh negatif terhadap pencapaian ketahanan pangan. Diperlukaan karakterisasi perubahan besaran yang mengalami pergeseran untuk dapat menyusun teknologi antisipasi.

Pemanfaatan Keragaman Iklim Antar Ruang Dan Waktu
Keragaman iklim menurut ruang dan waktu merupakan potensi sumberdaya nasional yang unggul, namun belum banyak disadari dan digarap. Keunggulan ini memungkinkan Indonesia dapat memenangkan persaingan dalam produksi dan pasokan komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dibanding dengan negara-negara tropis lain maupun sub tropis. Produksi durian, salak, mangga dan buah-buahan lainnya yang dapat dilakukan sepanjang tahun merupakan potensi yang potensial. Demikian juga produksi sayuran dan pangan dapat dilakukan sepanjang tahun memungkinkan Indonesia dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Meskipun memiliki banyak keunggulan, namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa pencapaian ketahanan pangan dari aspek pasokan masih banyak menghadapi kendala. Ilustrasi konkritnya adalah terjadinya akumulasi produksi komoditas sejenis pada periode singkat, sehingga pada periode lainnya pasokannya rendah. Konsekuensinya, pada saat panen raya harga jual anjlok, dan sebaliknya pada saat pasokan berkurang harga melonjak. Kondisi ini sangat merugikan masyarakat.

Salah satu penyebab terjadinya akumulasi produksi yang sangat merugikan ini adalah masa tanam yang masih tergantung sepenuhnya pada musim hujan. Kondisi ini terus berulang, sehingga diperlukan terobosan baru dalam penyediaan air untuk pertanian, agar saat tanam dapat diatur, sehingga terjadinya akumulasi produksi pertanian dapat diminimalkan.

Berdasarkan hasil analisis dampak anomali iklim di sentra produksi pangan dengan pola iklim yang berbeda, maka dapat disusun skenario teknologi produksi dan pola tanam yang optimal, agar resiko pertanian yang mungkin terjadi dapat diminimalkan. Untuk itu diseminasi hasil analisis ini ke perencana, pengambil kebijakan dan pelaksana lapang sangat perlu diintensifkan.

PENUTUP
Produksi bahan pangan, yang merupakan faktor utama ketahanan pangan nasional, sampai saat ini masih bertumpu pada wilayah sentra produksi pangan klasik yang bertipe iklim monsunal dengan beberapa wilayah sudah mengalami defisit air (Jawa). Untuk mengamankan pasokan pangan nasional ke depan, maka perlu didukung dengan pengembangan sentra produksi pangan baru di wilayah yang pasokan airnya masih surplus dengan limpahan radiasi suryanya tinggi

Wilayah pengembangan atau perluasan pertanian tersebut terdapat antara lain di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, yang merupakan areal lahan kering yang potensial untuk penyangga produksi pangan nasional. Selain pertanian lahan kering, apabila tersedia dana yang cukup besar, maka pencetakan sawah baru dan reklamasi lahan rawa, dapat juga dilakukan dengan memilih lahan-lahan yang sesuai. Pada agroekosistem apapun, dukungan sumberdaya iklim yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman sangat diperlukan, agar sentra produksi pangan yang baru tersebut dapat berhasil menjadi produktif dan sustainable.




No comments:

Post a Comment