Wednesday, August 13, 2008

Perspektif Perubahan Iklim Dalam Kerangka Negosiasi Internasional Serta Tuntutan Sosial Atas Dampak dan Solusi Global

Seruan untuk membentuk kesepakatan global untuk menanggulangi masalah perubahan iklim diawali oleh hasil penelitian pertama IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) pada tahun 1990. Rekomendasi ini menunjukkan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman serius bagi umat manusia dan lingkungan. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bereaksi dan membentuk INC (Intergovernmental Negotiating Commitee) yang bertujuan menegosiasikan perlunya konvensi terkait perubahan iklim.

Realita bahwa sistem iklim merupakan sumber daya bersama yang stabilitasnya dapat terpengaruh oleh kegiatan industri, emisi karbon dioksida serta gas rumah kaca lainnya. Perdebatan ilmiah diantara para pakar bukan lagi apakah pemanasan global terjadi atau hanya hitungan di atas kertas. Fokusnya kini adalah seberapa cepat dan seberapa besar dampak pemanasan global yang berorientasi pada perubahan iklim.

Tanda-tanda terjadinya perubahan iklim berupa meningkatnya curah hujan di beberapa bagian bumi, sementara bagian lainnya mengalami musim kering yang berkepanjangan. Hal ini terjadi karena ada perubahan suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara bertahap dalam jangka waktu puluhan tahun. Masalahnya saat ini, terjadi peningkatan gas rumah kaca secara besar-besaran. Sebagian besar meruapakan hasil pembakaran seperti penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara), penebangan hutan dan praktek-praktek sistem pertanian tertentu.

Pra revolusi industri, kandungan CO2, CH4 dan N2O masing-masing sekitar 280 ppmv, 700 ppbv dan 275 ppbv. Pada tahun 1994 konsentrasi ketiga gas tersebut berturut-turut 358 ppmv, 1720 ppbv dan 312 ppbv (IPCC, 1996). Ini berdampak peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi. Sementara aktivitas manusia terus berjalan, mengakibatkan emisi gas rumah kaca kian meningkat. Dengan pertumbuhan seperti ini, pada 2050 tingkat emisi gas rumah kaca mencapai dua kali lipat dari masa pra industri. Bahkan akan lebih cepat terjadi yakni tahun 2035, jika negara seperti India dan Cina mengikuti pola AS (negara yang menghasilkan seperempat emisi global) dalam pelepasan karbon.

Karakteristik perubahan iklim tidak terdistribusikan secara merata dan tidak sama. Amerika mendapat serangan badai besar seperti Badai Katrina, sementara Bangladesh diterpa banjir bandang yang tak kunjung henti, bagian selatan Eropa diserang gelombang uadar panas yang mematikan, sementara di kutub beruang-beruang mulai menciut habitatnya. Namun ada hal yang sama dari semua itu, yaitu bahwa pada suatu ketika nanti secara mendadak (abrupt) dan tak dapat dikendalikan prosesnya, semua kejadian itu akan berubah menjadi gempa iklim (climate shock) dimana saat itu akan bersifat sangat kastrofik.

Horizon kebijakan dan perencanaan agenda perubahan iklim berkaitan dengan tahapan kebijakan dan langkah operasional yang dilakukan dari waktu ke waktu untuk mengantisipasi kemungkinan dampak dari terjadinya perubahan iklim (Jones et al, 2003). Pemerintah Indonesia meluncurkan Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN MAPI) yang merupakan garis besar arah pembangunan nasional sesuai dengan tantangan ke depan menghadapi perubahan iklim global.

Pemerintah Indonesia sebagai tuan rumah konvensi perubahan iklim COP 13 yang baru saja diselenggarakan di Bali harus mampu memainkan peran politiknya untuk melindungi masyaraktnya (petani, nelayan, dan rakyat miskin) yang rentan (vulnerable) terhadap perubahan iklim. Kacaunya musim, peningkatan intensitas banjir dan kekeringan amat tidak adil jika harus dibayar masyarakat (Irianto G, 2007). Pada pengamatan di Indonesia dari beberapa stasiun hujan di Jawa, Lampung dan Bali menunjukkan bahwa pengaruh kejadian ENSO (perubahan iklim) terhadap hujan sangat nyata, khususnya pada musim kering. Pada tahun El nino, curah hujan pada musim kemarau (Juli sampai Oktober) dapat turun sampai 57 % curah hujan tahun normal (Las et al, 1999). Pada tahun La nina pengaruh terhadap pangan relatif beragam, karena di sebagian propinsi negatif dan sebagian lain bersifat positif. Sebagai contoh di Sumatera bagian utara umumnya berdampak negatif, tapi di bagian selatan dan Jawa pada umumnya bersifat positif (Irawan B, 2002).

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM
Saat suhu permukaan bumi terus meningkat, berbagai bencana sudah dan akan terjadi, beberapa diantaranya:

Air bersih susah didapat (Kini hanya 1 dari 5 penduduk dunia yang dapat memperoleh air bersih). Pada 2020, 75 juta - 250 juta orang di Afrika kesulitan air bersih. Di Asia ketersediaannya menurun, demikan juga di Eropa Barat. Pada 2080, diperkirakan kondisi memburuk, saat sekitar 3 milyar orang kekurangan air bersih.

Sekitar 20-30% spesies menghadapi kepunahan saat rata-rata suhu global meningkat hingga 1,5-2,5°C.

Banyak tingkat kerusakan akibat kekeringan dan kebanjiran pada tahun-tahun ENSO pada dekade terakhir ini semakin meluas dan semakin berat (Kattenberg et al, 1996).

Mencairnya hamparan es di Greenland mengakibatkan permukaan air laut meningkat hingga sekitar 6 meter. Untuk menghadapi hal ini, sejumlah negara seperti Belanda sudah menggelar kompetisi merancang rumah terapung.

Banjir menggenangi kawasan dataran rendah yang merupakan kawasan lahan subur untuk pertanian seperti Bangladesh, Maldives dan lokasi kota-kota di pinggir pantai seperti Jakarta

Semakin tingginya frekuensi dan intensitas hujan badai dan angin topan (hurricane).

Terjadi migrasi besar-besaran karena banyak wilayah tidak dapat menopang kehidupan. Diperkirakan sekitar 50 juta orang menjadi pengungsi akibat perubahan iklim pada 2010.

Ancaman terhadap kesehatan manusia. Ledakan berbagai penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Di Eropa pada 2003 saja, sekitar 20.000 - 30.000 orang kehilangan nyawa karena gelombang panas.

Proses penggurunan karena kekeringan yang berkepanjangan

Gagal panen akibat kekeringan sehingga terjadi kelaparan besar-besaran.

Nelayan sulit mendapatkan ikan karena kerusakan terumbu karang.

Kebakaran hutan semakin sering terjadi

Kenaikan suhu ekstrim di beberapa wilayah. Seperti suhu di Kalimantan yang biasanya sekitar 35°C, naik menjadi 39°C. di Sumatra, dari suhu rata-rata 33-34°C menjadi 37°C. Sementara Jakarta dari 32-34°C berubah menjadi 36°C.

Wilayah Indonesia bagian Selatan akan mengalami penurunan curah hujan, sementara kawasan utara mengalami peningkatan curah hujan secara besar-besaran.

Fakta-fakta dasar ini sangat akrab dengan sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat di negara berkembang yang harus segera beradaptasi demi kelangsungan hidup mereka. Pemanasan global dan perubahan iklim mempersulit kehidupan masyarakat rentan, padahal sumbangan mereka terhadap emisi gas rumah kaca sangat sedikit dibandingkan negara-negara industri.

Pemanasan global dan perubahan Iklim yang menyertainya merupakan masalah modern yang sangat rumit, untuk dapat mengatasinya harus melihat secara menyeluruh meliputi masalah kemiskinan, pembangunan ekonomi global dan pertambahan populasi. Tidak mudah mengatasinya. Terlebih lagi saat dimensi keadilan ditinggalkan. Tetapi mengabaikannya, dalam berbagai tingkatan akan menjadikan kondisi ini lebih buruk lagi.

KONVENSI TENTANG PERUBAHAN IKLIM
Tahun 1992 dilaksanakan KTT Bumi di Rio de Janeiro – Brazil dimana disepakati pembentukan Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (United Nation Framework Convention on Climate Change) untuk mulai mempertimbangkan apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi pemanasan global dan mengatasi kenaikan suhu bumi yang relatif tidak dapat diredam kenaikannya. Para pihak (negara penandatangan UNFCCC) berunding dalam wadah yang bernama Conference of the Parties (COP) rutin bertemu sekali setahun atau saat dibutuhkan.

Pada COP 3 disahkan Protokol Kyoto di Kyoto Jepang dimana 156 negara sepakat untuk mengambil langkah mengurangi gas karbondioksida dan GRK lainnya menjadi di bawah standar emisi tahun 1990 pada tahun 2012. Protokol Kyoto hanya mengatur semua ketentuan pada Periode Komitmen Pertama (2008 – 2012). Mekanisme pengurangan emisi dirundingkan hingga 2001 (selama 5 tahun) yang sifatnya sangat teknis, lebih ketat dan akhirnya mewajibkan negara Annex 1 (negara maju yang mengemisikan terlebih dahulu GRK sejak revolusi industri) untuk menurunkan emisi GRK rata-rata sebesar 5 % dari tingkat emisi tahun 1990. Prokol Kyoto juga hanya memberikan gambaran dasar dari mekanisme dan sistem pentaatan tetapi tidak menjelaskan secara lengkap operasionalnya.

Negara Annex 1 diharuskan menetapkan kebijakan dan langkah domestik untuk mencapai target dan mengurangi jumlah gas GRK dari atmosfer yang dikenal sebagai karbon sink di sektor land use, land use change and forestry (LULUCF).

Negara Non-Annex 1 (kelompok negara berkembang yang rentan terhadap perubahan iklim). Protokol Kyoto tidak mewajibkan penurunan emisi GRK terhadap kelompok negara Non-Annex 1, tapi ada mekanisme partisipasi untuk menurunkan emisi, sejalan dengan prinsip tanggung jawab bersama dengan porsi yang berbeda.

Pada COP 7 di Marrakesh diadopsi dengan menambahkan sektor land use, land use change and forestry (LULUCF) dan menetapkan aturan yang lebih rinci untuk implementasi Protokol Kyoto. Tetapi sebagian pihak melihat bahwa dimasukkannya sektor ini merupakan upaya untuk menarik negara berkembang dalam menanggung beban emisi, yang nilainya di luar kejadian kebakaran hutan sangat kecil. Protokol Kyoto juga memuat ketetapan untuk mengkaji pencapaian komitmen yang disepakati. Negosiasi untuk komitmen periode ke dua dimulai pada 2005, saat itu para pihak di Annex 1 harus menunjukkan ”kemajuan nyata” yang dicapai. Sementara keseluruhan Protokol dikaji ulang pada sesi kedua COP yang juga bertindak sebagai Meeting of The Parties (MOP).

Pada 2001, AS negara yang bertanggung jawab atas seperempat emisi dunia menyatakan tidak akan meratifikasi Protokol Kyoto (walau pun menjadi para pihak dalam UNFCCC). Pada tahun 2002, AS dan Australia menarik diri dari Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memiliki kekuatan hukum pada 16 Februari 2005. Saat itu dua syarat terpenuhi yaitu : (1) telah diratifikasi oleh 55 negara, dengan bergabungnya Islandia pada 23 Mei 2002, (2) jumlah emisi total dari negara Annex 1 yang meratifikasi Protokol Kyoto minimal 55% dari total emisi mereka di tahun 1990. Kondisi ini tercapai setelah Rusia meratifikasi Protokol Kyoto pada 18 November 2004.

Pembahasan pertemuan COP hingga COP 12 di Nairobi Kenya tidak mengalami kemajuan untuk mendorong negara-negara Annex 1 secara nyata menekan emisinya. Sekitar 95% proses negosiasi membahas pembuatan pasar karbon (carbon market) atau perdagangan karbon.

Kelemahan Mendasar Protokol Kyoto
Protokol Kyoto hanya memandatkan 5 % pengurangan emisi karbon negara maju, padahal para ilmuwan menyatakan bahwa seharusnya dilakukan pengurangan emisi sebesar 60 – 80%. Ini merupakan keprihatinan pertama dari protokol. Hal kedua, sebagian besar perundingan tidak membahas pengurangan emisi secara langsung, tetapi lebih terfokus pada penerapan mandat protokol untuk menciptakan pasar global baru untuk kredit karbon dioksida. Sekitar 95 % diskusi mengeksplorasi secara rinci bagaimana menciptakan pasar karbon. Meskipun AS, menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto, protokol ini memiliki label sebagai ”made in USA”. Hal ini diucapkan oleh Michael Zammit Cutajar, mantan Sekretaris Jenderal UNFCCC berdasarkan proses yang ada.

Di tengah kemacetan perundingan tentang perlu tidaknya protokol yang mengikat secara hukum dalam mengatasi perubahan iklim (COP 3 di Kyoto Jepang), Al Gore, Wakil Presiden AS membuat terobosan dengan menyatakan dunia perlu protokol untuk menghadapi masalah perubahan iklim. Saat itu Al Gore mendapat pujian dari banyak pihak, karena dianggap menyelamatkan perundingan dan membuat langkah maju dalam penanganan masalah perubahan iklim. Sesungguhnya, yang luput dari perhatian hampir semua orang adalah sumbangannya dalam perdagangan karbon global. Al Gore mendorong agar seluruh kewajiban pengurangan gas rumah kaca harus dikaitkan dengan pembentukan pasar global baru melalui perusahaan-perusahaan yang dapat mereduksi lebih besar dari yang diharapkan, kemudian dapat menjual ”kredit emisi” kepada pihak lain yang hanya mampu mengurangi sedikit.

”Hak untuk mencemari “ atau pollution rights yang dapat diperjualbelikan, sudah digunakan AS sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1990, EPA mengijinkan kredit polusi yang pertama kali dirancang untuk mengurangi emisi sulfur dioksida penyebab hujan asam. Para ahli menilai, kredit karbon hanya mendorong penghematan biaya saja, tapi tidak mengubah apapun.

Konsensus Yang Salah Arah
Perdagangan karbon (karbon market) memperbolehkan pencemar besar memiliki hak untuk mencemari dalam skala besar dan menyediakan lebih banyak lagi dari perdagangan karbon di luar negeri. Mekanisme ini dinilai hanya mengukuhkan kelambanan dan menghambat inovasi. Lebih jauh lagi perdagangan karbon membahayakan masyarakat khususnya di Selatan (negara berkembang) yang merupakan lokasi sasaran ”penyeimbang” karbon untuk melisensi keberlanjutan polusi negara Utara (negara maju yang emisinya relatif tinggi). Masyarakat lokal, akan menjadi korban dalam sistem perdagangan karbon yang terjadi di wilayah mereka.

Mekanisme CDM (Clean Development Managemen), menjadi rangkaian negosiasi yang paling rumit karena harus merinci peraturan untuk menetapkan dan sertifikasi proyek-proyek yang dianggap tepat untuk menerima kredit karbon. Perundingan ini selalu disesaki oleh kepentingan bisnis (International Emissions Trading Association-IETA, yang beranggotakan 100 perusahaan) selalu terlibat di tiap meja perundingan.

Sejumlah aktivitas yang dipromosikan diantaranya adalah perkebunan berskala besar sebagai alternatif pembalakan liar. Pada kenyataannya kegiatan ini justru merusak lingkungan dan mengambil hak masyarakat adat yang hidup di sekitar hutan.

Menuntut Climate Justice
Perubahan iklim adalah suatu keniscayaan. Kini, orang banyak bisa menyaksikan sendiri fenomena penyimpangan iklim termasuk bentuk yang ekstrim yang terjadi di berbagai belahan bumi. Sebagian bahkan sudah merasakan langsung dampaknya. Inilah dampak yang tidak bisa dihindari karena begitu tingginya emisi GRK sudah menyelubungi bumi. Dan tingginya emisi dari negara industrialis maju (negara utara) berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi mereka yang amat agresif. Sebuah pertumbuhan untuk memenuhi konsumsi yang sangat tinggi, dan telah disesatkan sebagai tingkat kemakmuran. Hal tersebut diperparah lagi oleh tingginya persaingan atas konsumsi yang tidak lagi relevan dengan distribusi yang adil bagi kualitas hidup warga dunia. Maka hal penting untuk dipahami bahwa perubahan iklim jelas-jelas sebuah bukti konkret gagalnya model pembangunan global dalam menjamin keselamatan dan kesejahteraan warga dunia secara luas.

Gagalnya model pembangunan global dicirikan oleh berbagai hal berikut :
Negara Selatan (negara berkembang) tidak akan pernah mampu mencapai tingkat konsumsi masyarakat Utara (negara maju), akibat jerat utang yang memerangkap mereka dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Sementara piutang bagi Utara adalah alat pemaksa yang legitimate kepada negara Selatan untuk terus mengekspor bahan mentah dengan harga murah.

Negara Selatan didudukkan sebagai tempat produksi berbiaya murah bagi modal skala gigantik negara Utara, surga bagi pengoperasian industri kotor (penuh bahan pencemar udara) dan praktik industri berbiaya buruh sangat murah guna melayani konsumsi Selatan yang kotor dan boros.

Standar ganda oleh negara Utara antara pemeliharaan lingkungan demi mempertahankan pasokan bahan mentah murah yang menghancurkan wilayah sosio-ekologis penting di negara-negara Selatan.

Diletakkannya perdagangan sebagai aturan utama hubungan antar negara-negara saat ini yang merendahkan integritas kerekatan sosial dan berlanjutnya pelayanan ekosistem demi mempertahankan kehidupan di dalamnya.

Korporasi semakin kaya, tingkat akumulasi kekayaan para pemegang saham meningkat, sementara mutu hidup manusia dan lingkungan hidup terus merosot.

Rangkaian di atas pada akhirnya membangun segelintir elit korup, otoriter di negara-negara Selatan dan gagal mengangkat harkat hidup mayoritas masyarakatnya. Jejak ekologik kemakmuran negara Utara adalah potret gamblang model pembangunan global. Dalam model demikian mustahil negara Selatan mengejar kemakmuran seperti yang dicapai negara Utara. Jika model pembangunan ini tidak berubah, mustahil mayoritas populasi dunia sejahtera.

Bagi negara Selatan, model pembangunan global ini lebih banyak menyumbangkan kemiskinan. Masyarakat di Selatan bergelut dengan berbagai krisis sosial-ekologis, rusaknya lingkungan, disintegrasi sosial, dan hilangnya akses pada sumber kehidupan, kelaparan, bencana alam, adalah potret sehari-hari warga Selatan. Sementara pemerintah negara Selatan sibuk memenuhi kuota kebutuhan konsumsi negara Utara, membayar utang dan memberikan remah pembangunan bagi warganya.

Sejarah telah mencatat berbagai upaya untuk mengakomodasi tanah, pangan, tenaga kerja, hutan, air, gen dan ide-ide. Perdagangan karbon mengikuti jejak ini dan mengubah kapasitas siklus karbon bumi menjadi hak milik yang dapat diperjualbelikan dalam pasar global. Dalam proses untuk menciptakan komoditas baru ini (karbon), kemampuan dan kapasitas bumi untuk mendukung iklim yang kondusif bagi kehidupan dan manusia diserahkan ke dalam tangan perusahaan, yang adalah si perusak iklim (Deklarasi Durban). Deklarasi yang diluncurkan di Afrika Selatan pada tahun 2004 ini memandang kritis proses negosiasi Protokol Kyoto dan dengan tegas menyatakan bahwa perdagangan karbon tidak akan memberikan sumbangan apapun dalam upaya perlindungan iklim dunia.

Perdagangan karbon dinilai merupakan solusi salah arah yang memperburuk ketidakadilan sosial. Kelompok pemerhati iklim menawarkan kepada pemerintah, alih-alih terpaku pada skema perdagangan yang hasilnya tidak jelas, bahkan sebagian menunjukkan kegagalan, pemerintah seharusnya mendukung masyarakat di seluruh dunia yang sudah melakukan gaya hidup rendah karbon.

Dukungan pemerintah dalam bentuk pemberian subsidi untuk mengganti energi fosil menjadi energi terbarukan sangat diperlukan. Investasi publik diarahkan untuk merubah keseluruhan struktur masyarakat industri mengkonsumsi energi. Sementara pajak bahan bakar fosil dinaikkan.

Sayangnya langkah-langkah ini tidak/belum menjadi fokus dalam meja perundingan. Langkah yang lebih efektif untuk mengurangi penggunaan energi fosil dan membuka ruang diskusi yang lebih fokus dan demokratis tentang arah pembangunan global masih diabaikan.

Siapa yang mau mengambil langkah politis untuk mengubah arah Protokol Kyoto. Benar-benar mengurangi emisi bukan hanya memperparah kemiskinan dan memperbesar jurang ketidakadilan demi keuntungan dan kenyamanan sebagian kelompok saja.

SIKAP PEMERINTAH INDONESIA
Sebagai pengurus negeri kepulauan yang akan menjadi korban bencana iklim, pemerintah Indonesia tidak menunjukkan sikap cukup untuk menyelamatkan warganya. Amatlah eksplisit, sempitnya cara berpikir pemimpin-pemimpin republik ini soal perubahan iklim. Perundingan perubahan iklim hanya dianggap sumber pemasukan baru bagi program dan proyek yang belum diketahui resikonya bagi warga kebanyakan dan lingkungan. Semestinya, pemimpin negeri ini beserta juru runding berpikir bagaimana menyelamatkan warga dan kepulauan di masa mendatang lewat reformasi politik, ekonomi, dan fiskal dalam negeri yang memprioritaskan keselamatan dan produktifitas warga dalam memenuhi standar kehidupannya, serta kemampuan kolektif dalam merawat jasa layanan alam dalam sebuah perundingan multilateral.

Tentu saja titik berangkat harus berawal dari mencari posisi yang setara dengan negara-negara utara (negara maju). Pencabutan utang luar negeri harus menjadi poin daya tawar sebelum bernegosiasi. Indonesia jelas tak akan mampu mempengaruhi kesepakatan dunia (negosiasi internasional) karena kegagalannya melindungi lingkungan dan warga serta keterpurukannya dalam utang. Bahkan Indonesia menjadi tertuduh utama pencemar karena kebakaran hutan. Dalam situasi ini, menjadi layak jika Indonesia didorong-dorong untuk menerima percobaan baru atas nama perubahan iklim, yang mengikuti pola privatisasi dan penyaluran utang. Menjadi ironis, jika perubahan iklim yang mengancam kehidupan kepulauan ternyata adalah pintu masuk mega-proyek baru yang didanai utang luar negeri. Apa yang saat ini didorong oleh pemerintah Indonesia saat ini tak lebih upaya pragmatis yang hanya memberi keuntungan sesaat, dibaliknya bisa jadi membahayakan kesetamalan warga. Lebih dari itu upaya mengalokasikan hutan kepada 'kesepakatan global' tanpa kehati-hatian, berisiko membahayakan.

Bagaimana Seharusnya Berposisi Pada Solusi-solusi Perubahan Iklim Yang Ditawarkan UNFCCC

Milyaran warga di dunia, tengah dan akan terus menghadapi krisis. Jika ketidakadilan global akibat model pembangunan terkini yang menjadi persoalan mendasar penyebab krisis tidak diatasi, maka perubahan iklim akan menambah beban milyaran warga miskin dan rentan. Diyakini bahwa perubahan iklim tidak cukup hanya diatasi dengan mereduksi emisi secara drastis. Perubahan iklim adalah sinyal kegagalan model pembangunan yang didorong oleh konsumsi yang berlebihan oleh sekelompok manusia atas mayoritas populasi bumi. Kemakmuran negara Utara (negara maju) dan sekelompok elit di Selatan harus dibayar dengan respon alam yang berdampak katastrofik.

Oleh karenanya, pandangan atau sikap yang ditawarkan :
Tanggung jawab solusi krisis dan bencana iklim dan lingkungan harus diemban oleh pihak yang menikmati pertumbuhan ekonomi agresif selama lebih dari satu abad.

Pengurangan dampak (mitigasi) krisis dan bencana iklim harus terintegrasi dengan mekanisme respon dan pelembagaan respon (adaptasi) yang bersumber pada kesepakatan kolektif antar bangsa, dengan memperhitungkan tingkat keselamatan warga, produktifitas warga untuk memenuhi kualitas hidup, serta kemampuan warga menjamin keberlanjutan jasa alam.

Mengintegrasikan perpektif perempuan dalam semua kebijakan mitigasi dan adaptasi yang berlandaskan pada pembangunan di bidang sosial, lingkungan, dan ekonomi; mengingat dampak perubahan iklim sangat berbeda antara perempuan dan laki-laki terutama dalam isu air, energi, kesehatan, pertanian, keanekaragaman hayati, transportasi, migrasi, bencana alam, dan konflik.

Seluruh tindakan pengurangan dampak bencana dan krisis iklim harus dapat diukur berdasarkan penyelesaian dan penuntasan permanen krisis di tingkat warga, pemulihan integritas sosiai-ekologi setempat, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia seperti yang termaktub dalam kesepakatan-¬kesepakatan hak asasi manusia di bawah naungan PBB (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Deklarasi Perlindungan Hak Masyarakat Adat, dan Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan).

Sejumlah solusi teknologik seperti penggunaan bibit transgenik, pembangkit listrik tenaga nuklir, biofuel/agrofuel, teknologi penangkap dan penyimpan karbon (CCS/CTT), hanya akan membawa bencana baru bagi warga dan mengancam keberlanjutan lingkungan hidup. Untuk itu promosi atas teknologi-teknologi ini atas nama perubahan iklim harus dihentikkan

Pencabutan utang-utang di masa lalu menjadi prasyarat perumusan modalitas pembiayaan solusi bencana dan krisis iklim.

Pola pemanfaatan tanah dan kekayaan alam harus mendorong terciptanya tabungan sosial setempat pada investasi dan tuntutan pengembangan laju serapan lokal yang disesuaikan, serta menggunakan teknologi yang tidak menurunkan daya dukung lingkungan dan kemampuan reproduksi tanah dan kekayaan alam.

Kesungguhan dan keseriusan negara Selatan pemilik hutan dan kekayaan hidrokarbon untuk meretensi karbon (baik fosil maupun hutan) harus diimbangi kesungguhan dan keseriusan negara Utara dalam menurunkan emisi seperti diserukan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim, dan harus tercermin pada reformasi ekonomi-politik di negara maju, berupa perubahan mendasar cara berproduksi dan konsumsi yang mengurangi ketergantungan bahan mentah dan energi dari negara Selatan.

SKENARIO SOLUSI GLOBAL PERUBAHAN IKLIM
Pembangunan global telah menghasilkan krisis akumulatif, perusakan lingkungan masif, krisis sosial ¬kultural dan ekonomi di negara Selatan (negara berkembang). Warga miskin di desa maupun di kota menjadi saksi hidup sekaligus pelaku sebagai korban gelombang pembangunan yang beralas pada pertumbuhan kapital, eksportasi bahan mentah, dan utang luar negeri. Pemanasan global adalah sinyat kegagalan model pembangunan global yang jika tidak ditangani serius juga cepat, dan akan menambah sengsara warga negara Selatan. Meski demikian, para pengambil keputusan belum menganggap genting bencana besar ini. Pembagian tanggung jawab untuk memitigasi bencana global ini tersesat dalam model transaksi ekonomi dan perdagangan rumit yang tidak akan mengatasi realitas penderitaan warga di selatan sekarang ini.

Solusi tawaran dalam skenario UNFCCC/Protokol Kyoto maupun yang disodor sukarela (lewat kesepakatan bilateral intinya tetap seperti 'bisnis biasanya'. Penyelesaian teknologis serta pengaturan kembali ruang hutan (sebagai stabilisator utama atmosfer) dipercaya sudah cukup sanggup mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim. Lebih jauh dari itu, pasar dipercaya sebagai mekanisme utama dalam melakukan tindakan mengatasi perubahan iktim. Inilah bukti bahwa sinyal perubahan iklim tidak cukup kuat mengubah cara pandang para pemimpin dunia dalam mengurus bumi.

Pengerahan bantuan ke negara Setatan, masih saja dalam skenario privatisasi yang sudah tua sekali. Jika dulu sumber daya dan lahan menjadi incaran privatisasi, kali ini atmosfer. Privatisasi atmosfer membuat kelompok kaya (negara Utara/maju) terus bisa mencemari dan membahayakan milyaran warga yang hidup dalam kondisi survival.

Privatisasi atmosfer terlihat jelas dalam perdagangan karbon. Mekanisme ini memungkinkan para pencemar boleh terus mencemari selama membeli hak emisi atau hak bernafas dari pihak lain terutama negara Selatan (negara berkembang). Perdagangan karbon beserta canggih dan rumit bahasanya jelas menunjukkan upaya para pencemar (korporasi utara/maju) menghindari pemotongan emisi dan perubahan cara berproduksi, karena mengancam keuntungan mereka hasil produksi kotor selama ini. Bahkan canggih benar, mekanisme perdagangan karbon sengaja menyembunyikan fakta bahwa C02 memiliki waktu tinggal hingga 100 tahun (IPCC). Lewat slogan rosot karbon (sinks) publik dibohongi bahwa emisi dapat diserap oleh tahaman seketika. Jadi, retensi karbon dari perubahan penggunaan lahan dan hutan, hanyalah upaya kelompok kaya untuk mengatur dan menguasai lahan agar dapat terus mencemari atmosfer.

Bukti itu semakin nyata, melihat kenyataannya bahwa sampai saai ini sedikit sekali negara Annex1 yang memenuhi komitmen untuk menurunkan emisinya. Bahkan sejumlah negara yang dianggap sukses seperti Jerman dan Inggris, diduga mengekspor indusri kotornya ke China dan negara Selatan lain demi menunjukkan raport penurunan emisi yang baik di mata dunia. Lemahnya ketentuan lingkungan hidup dan buruknya perlindungan terhadap warga dan buruh di Selatan, secara jitu dimanfaatkan, bukan saja untuk meraup untung tetapi sekaligus mengalihkan tuduhan pencemaran pada negara Selatan.

Negara Selatan tidak memiliki kesempatan yang sama dalam bernegosiasi. Utang luar negeri menjadi beban tak terkira yang menciptakan sikap mengekor atau bertahan dalam skenario pola lama pembangunan. Jika beban ini tak lenyap, perundingan perubahan iklim terus timpang tanpa menghasilkan tindakan kolektif yang setara untuk sanggup mengatasi krisis yang dihadapi umat manusia.

Emisi harus ditargetkan turun drastis, dan itu mutlak kalau kehidupan di bumi ini mau diselamatkan. Namun pilihan jalan mencapi target ini harus berkontemplasi atas sejarah hitam peradaban manusia. Sejarah yang menunjukkan, saat instrumen ekonomi dan pembangunan gagal menjawab misinya, kekerasan dan peperangan menjadi angkuh sebagai jawaban yang pas. Tindakan menyelamatkan bumi sebagai rumah manusia harus mampu menjawab ketidakadilan antar bangsa dan kelompok penggunaan sumber daya bumi yang berlangsung berabad lamanya.

Kesepakatan multilateral dalam rangka mengatasi pemanasan global ke depan harus mengedepankan sebuah skenario penjatahan sumber daya dunia yang adil, tidak melanggar hak asasi manusia, memulihkan kembati integritas sosio-ekosistem yang porak poranda akibat model pembangunan kini yang masih berlangsung.

Pemanasan Global ! Banyak Yang Bisa Kita Lakukan
Bumi dan seluruh kehidupannya sedang dalam krisis. Setiap langkah mengurangi emisi adalah tindakan cerdas untuk mempertahankan kehidupan kita. Langkah-langkah perubahan untuk mencegah kenaikan suhu permukaan bumi, sangat bergantung pada kerja tim (seluruh elemen penduduk bumi), keinginan politis dan langkah pribadi. Langkah yang bisa segera dilakukan sebagai pribadi adalah perubahan gaya hidup dan perilaku kita.

Beberapa ide untuk memulai yakni :
Ganti bola lampu. Kalau bola lampu yang digunakan masih sama dengan model keluaran tahun 1978. Bola lampu sekarang yang berbentuk seperti es krim jauh lebih hemat energi, dapat menghemat 75 % energi dengan daya hidup 10 kali lebih lama dibandingkan bola lampu fluoroscen.

Lakukan pengomposan. Jangan buang sisa makanan dan sampah dapur. Cacing-cacing kecil dapat membantu mengubahnya menjadi pupuk organik yang baik bagi kebun kita. Proses pengomposan organik juga menghasilkan C02, tetapi 23 kali lebih sedikit dibandingkan proses dekomposing di tempat pembuangan sampah umum.

Jangan pernah lagi mengeluarkan alasan apapun untuk menggunakan styrofoam. Praktis, rapi atau dapat menjaga makanan tetap hangat, hanya membawa kehidupan kita berujung pada masalah. Singkirkan segera dari keseharian kita. Styrofoam terbuat dari bahan bakar fosil (3,2 gram untuk membuat satu cangkir kopi styrofoam) dan membutuhkan waktu lama untuk terurai.

Bawalah tas belanja pribadi yang dapat dipakai berulang kali. Pilih bahan yang tahan lama, seperti katun. Hindari tas plastik, yang membutuhkan waktu 1.000 tahun agar dapat terurai. Sementara satu ton kantong kertas dibuat dari sekitar 17 batang pohon dewasa.

Matikan semua peralatan listrik yang tidak digunakan, jangan biarkan dalam posisi stand by. Jika 1 juta rumah tangga melakukan hal ini, sekitar 150.000 ton CO2 tidak terbuang sia-sia ke atmosfer.

Dukung sistem pertanian organik. Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang berpotensi untuk penyerap karbon (carbon sink). Penelitian terbaru menunjukkan 100.000 pertanian organik akan menyerap keluaran CO2 dari 12 juta mobil. Sementara pertanian berskala industri tidak sedikit pun menyerap CO2.

Beli produk lokal yang dihasilkan petani lokal. Selain emisi yang dikeluarkan dari transportasi lebih kecil, hal ini dapat mendukung ekonomi pedesaan, melindungi keanekaragaman hayati dan menjaga keberlanjutan bumi.

Tanamlah pohon dan berbagai bunga. Tanaman menyerap CO2 melalui akar dan cabang-cabangnya. Tanaman bambu dapat lebih banyak menyerap CO2 dan menghasilkan oksigen 35% lebih besar dari pohon lainnya.

Pilih jalan kaki atau sepeda untuk menempuh jarak dekat. Upayakan menggunakan angkutan publik untuk perjalanan yang lebih jauh.

Aktiflah untukmenyebarkan kesadaran tentang dampak perubahan iklim. Pastikan kepedulian ini juga didengar oleh para pembuat kebijakan. Gali dan cari informasi lebih banyak lagi. Karena lebih mudah mengubah sesuatu kalau kita benar-benar paham atas satu isu.



No comments:

Post a Comment